PENJARA RUMAHKU
Penjara Rumahku
Malam ini, rembulan yang
begitu sempurna dan angin yang menyapa tiap lekuk tubuhku. Ku rentangkan
tanganku menikmati angin yang begitu jeli masuk dalam tiap lekuk tubuhku.
Keadaan waktu itu gelap hanya ada
sepercik cahaya yang muncul di setiap sudut ruangan, hanya cahaya itulah yang
menemaniku dan keluargaku.
“bu..bu..kemarilah” aku berusaha memanggil ibu untuk menikmati hal yang sama
denganku
“iya nak, tutup jendelanya nanti ada
yang mengetahuinya kalau di rumah ini ada penghuninya
nak”
“bu kenapa aku tak bisa sebebas
seperti teman-temanku di desa sebelah yang bisa leluasa bermain dan keluar sesuka
hatinya bu?”
tanyaku
“sudahlah nak, ayo tutup jendela itu
dan simpan dulu impianmu itu nak, nanti suatu saat pasti kau akan merasakan kebebasan seperti mereka nak” jawab perempuan separuh baya itu
“tapi
bu, semarahkah mereka terhadap suku kita bu? Sampai-sampai aku kehilangankebebasan yang harusnya ku miliki, toh mereka juga
yang salah bu, bertindak asusila terhadap suku kita dan kita juga kan tidak
sengaja memukuli dia hingga kelewatan seperti itu. Niat dari kita kan
membuatnya jera, lagian dia meninggal juga toh di rumah sakit bukan di tempat
perkara bu.”
“Alena!
ibu bilang tutup jendela itu nak, apa kau mau mengorbankan salah satu dari
keluargamu ini menjadi tumbal untuk
warga sini?” jawab
lantang perempuan yang paling ku hormati di dunia ini
“ah ibu Alena hanya ingin menikmati
bagaimana rasanya angin malam yang sudah tidak aku
rasakan selama 1 minggu ini bu”.
Jawabku sebal
Perempuan paruh baya itu berjalan menuju tempatku dan dia yang
menutup jendela itu sendiri. malam itu sangatlah sunyi di desaku, tak ada lagi
suara canda tawa kawan-kawanku, tak ada lagi mendengarkan kebisingan kendaraan
berlalu lalang di depan rumahku. “ yaaa Tuhan keadaan seperti inikah ketika kau
menurunkan Adam di muka bumi ini?”
“Alena… Alena cepat bersembunyi nak,
segeralah naik ke loteng bersama kakakmu dan ibu
nanti ayah menyusul, ayah akan mengunci rapat-rapat pintu rumah terdahulu” seketika seruan panik ayah itu membangunkan aku dari
lamunan.
Aku langsung bergegas menuju arah kakaku dan ibuku berdiri, kami segera naik ke loteng rumah untuk melindungi diri dari serangan suku 88 itu. Sepanjang aku menunggu ayah di atas loteng, aku mengucapkan syukur “ ya Tuhan apa jadinya jika tadi aku tak mendengarkan kata ibu dan apa jadinya jika aku tadi masih menikmati angin malam itu? Mungkin bisa jadi aku akan di tariknya dan di jadikan santap malamnya atau bisa jadi bukan aku tapi keluargaku, ya Tuhan jika itu terjadi mungkin aku akan gila atau tidak aku tidak akan benar-benar merasakan canda tawa bersama teman-teman sebayaku”
“Alena..alena apa yang kau lamunkan” lagi-lagi lamunanku jadi berantakan karena kakakku
“ssstttt,, aku sedang mendramatisir
keadaan kak”
jawabku berbisik. “ayah mana? Kok belum nonggol juga?”
“ssssttt diamlah, tuh ayah sedang
naik ke atas” jawab
kakaku
“hei ayah” (bisikku)
“sssssttt Alena!” bentak semuanya.
Sudah seminggu kami
sekeluarga menghabiskan malam berkumpul di atas loteng rumah, yang biasa untuk
tempat tinggal tikus, untuk sementara ini menjadi tempat tinggal kami bila
malam suku 88 beroperasi
mencari mangsa.
“Selamat pagi Alena”begitulah mentari pagi membangunkanku dari sela-sela atap
rumahku. Semalam,
Tak tersadar kami sekeluarga
tertidur pulas di loteng, loteng adalah
tempat yang paling aman bagi kami
sekeluarga saat
ini. Kejadian tadi malam
berasa mimpi seperti film action mengindari musuh bersembunyi ketakutan di atas loteng tanpa
bersuara sedikitpun hingga kami tertidur di atas sana. Hari ini akan menjadi
hari yang membosan bagiku dan kakakku pastinya, aku rasanya ingin keluar dan
bermain bersama teman-temanku pergi bersekolah belajar bertemu ibu dan bapak
guru. Sayang hal itu hanyalah anggan-anggan semata untuk sementara ini,
bagaimana tidak aku sudah di tinggalkan oleh teman-temanku, mereka mengugsi
demi keselamatan katanya dan mengosongkan rumah mereka, terus kenapa aku tidak
ya? Pernah ku tanyakan pada orangtuaku, kata mereka kita tidak boleh
meninggalkan rumah dan jangan pernah terpisah. Begitulah jawaban orangtuaku,
tapi bagaimana dengan nasipnya aku dan kakaku, aku yang harus sekolah aku tidak
mau mengejar pelajaran yang ku tinggalkan. Aaahhh menyebalkan! Hilang semua
hakku, aku hanya bisa mengintip jika ingin melihat luar rumah karena mereka
selalu berjaga selama 24 jam tentu dengan senjata mereka busur tombak, kampak
dll, siang mereka hanya berjaga-jaga dan malam mereka selalu opererasi dari
rumah ke rumah hanya untuk maendapatkan
nyawa, emang mereka malaikat penyabut nyawa? Malaikat penyabut nyawa pun tak
sekejam itu untuk mengambil nyawa umatnya. Jika aku keluar bisa-bisa aku jadi
hewan berburu mereka.
Keadaan saat itu memang
sangatlah kacau, banyak warga yang mengungsi dan bisa jadi yang tinggal di desa
itu hanya beberapa keluarga saja benar-benar desa yang sunyi.hari-hari begitu
berlalu dengan hal yang membosankan seperti di penjara
di rumah sendiri. Negosiasi saat itu tidak ada hentinya antara
aparat penegak hukum
dan kepala suku 88
itu, tapi tetap saja mereka tolak bagi mereka nyawa di bayar nyawa. Di desaku
saat itu di setiap sudut desa di jaga oleh aparat keamanan polisi, TNI dan
Intel sangat berhamburan untuk menjaga keselamatan kami.
Pada minggu ke tiga aku
mendengar bahwa jumlah suku 88
ini bertambah mereka berdatanagan dari daerah asal mereka dan semua yang ada di
daerahku mereka bergerak mengepung desa kami. Namun hal tersebut dapat di cegah
dengan aparat keamanan yang berjaga-jaga di desa kami. Keesokan harinya aku
melihat dari sela-sela jendela rumahku dan mendengar kabar juga bahwa sudah banyak yang berpergian suku-suku itu hanya saja mereka
berjaga di pintu masuk dan pintu keluar desa kami, tidak seperti hari-hari
kemarin. Hari ini aku pun mendengar kabar bahwa mas tejo tetangga rumahku akan
pulang dari jayapura yaitu tempat kerjanya, dia di pulangkan oleh bosnya di
karenakan sakit, katanya dengar-dengar dia ingin pulang di rawat oleh istrinya.
Saat itu keadaan aman, aku pun bisa keluar bermain dengan anak mas Tejo, dia
sangat senang ayahnya pulang dan membelikan oleh-oleh.
“kakak ayah aku pulang, mau beliin
aku boneka sebesar rumah” bualnya
terhadapku
“iya nanti
bagi-bagi sama kakak ya oleh-olehnya” ku jawab saja anak berumur 3 tahun
itu agar dia senang hehehehe
Begitulah percakapanku tak
banyak dengan si Alisa, dia asik dengan mainan masak-masakannya, dan aku asik
bermain game gembot. Selang beberapa
lama ada suara yang memanggil “Alisaaaa” yah itu suara mas Tejo. Gadis kecil
yang masih polos itu berlari menghampiri ayahnya, sedikit terharu saat itu
seperti anak yang benar-benar merindukan ayahnya sejak lama, yah wajar
menurutku setahu aku Alisa di tinggal ayahnya sejak umur 2 tahun tepatnya 1 tahun yang
lalu tentu kangen itu sudah mengunung.
“kakak aku pulang dulu ya, ayahku sudah datang” pamit si Alisa
Tak bisa mengambarkan
dengan kata-kata keceriaan si anak kecil itu, dari rumahku aku hanya mendengar
samar dia memanggil-manggil ibunya dengaan mengatakan bahwa ayahnya sudah
datang. Hari ini mungkin menjadi hari yang mengharukan dan hari dimana untuk pertama
kalinya aku melihat halaman rumah dan
menikmati angin yang dengan begitu jeli memasuki setiap
lekuk tubuhku yang selama beberapa minggu ini tak ku rasakan
.
“bu
ada apa dengan hari ini ya? Kok mereka sudah mulai pergi? Apa negosiasinya
berhasil?kira-kira mereka minta ganti rugi berapa ya? Eh tapi bukannya kemarin
ada kabar mereka benar-benar tidak mau menerima ganti rugi tapi mereka meminta
nyawa ya bu?”
tanyaku pada ibu yang sedang di sebelahku menapis beras
“yaa semoga saja
Lena, nasib masih berpihak baik pada golongan kita, semoga saja
negosiasi itu berhasil dan tidak ada korban nak, berdoalah saja” jawab ibuku
“amin ya Allah semoga saja begitu,
yes berarti nanti malam aku bisa duduk-duduk di depan, tak lagi menikmati angin malam melalui jendela hahahhaha”
“huuuss jangan
dulu, kau ini belum tentu mereka ini benar-benar pergi Alena, mau kau di
jadikan hewan buruan mereka?” kata ibu mencoba menakuti aku.
“tidak. Aku ini memang gemuk bu,
tapi aku tak mau di jadikan seperti babi hutan yang seenaknya mereka busur dan mereka bakar. Oh NO! aku belum bosan
hidup bu” kicauku
dengan sedikit sebal
“nah maka itu dengar kata ibu Alena”
“mmmhh tapi aku mau
sebentar saja bu 5 menit saja, yay a ya bu” rayuku kepada ibu
Ibuku hanya tersenyum
sambil masuk ke dalam rumah. Hari semakin sore dan ibu menyuruhku segera mandi.
Aku pun bergegas mandi, setelah mandi dan makan aku pun menepati janjiku untuk
menikmati angin malam di luar, waktu menunjukan pukul 8 malam, pada saat itu
aku memastikan terlebih bahulu apakah aman atau tidak. Yaaa seperti harapanku
ternyata ada juga yang sudah duduk bersantai di halaman rumah mereka seperti
keluarga mas Tejo yang benar-benar asik duduk-duduk di depan rumah sambil
memakani ternaknya. Malam ini aku duduk
tidak jauh dari pintu rumah, takut jika nanti tiba-tiba ada serangan dan
kakakku pun belum berani keluar sejak kemarin. Malam ini benar-benar damai tak
di hantui rasa ketakutan lagi. Tapi ibu selalu memanggilku untuk masuk takut
jika aku di jadikan hewan buruan mereka dan malam pun semakin larut semakin
banyak suara jangkrik yang meramaikan dan menambah suasana pedesaan yang damai.
Waktu sudah menunjukan pukul 22:00 wit aku pun bergegas masuk rumah dan pergi
tidur di kamar tercinta “akhirnya aku
tidur di kasur dan sendirian” (batinku). Malam itu kami tidur di kamar
masing-masing.
“Gerukduk geruduk prang prang”
aku di bangunkan dengan
suara itu aku mengintip melalui jendela kamarku sontak aku terkaget suku 88
menyerang desa kami dengan jumlah yang lebih banyak lagi dari yang kemari-kemarin,
mereka pecahkan lampu-lampu jalan kaca-kaca rumah dan hewan-hewan peliharaan
lari kesana kemari.
“oh my god, ibu ayah” dengan lantang aku membangunkan mereka semua, aku berlari
ketakutan ke kamar ayah ibu dan kakakku. Semakin banyak suara di luar sana
segera aku dan keluarga ku naik ke atas loteng tempat persembuyianku. Mereka
mengeledah setiap rumah warga dengan membawa parang, kampak, busur dan tombak,
menghancurkan kaca-kaca jendela warga. Inikah pertarungan yang sesungguhnya?
Inikah di katakana perang? Sungguh saat itu aku sangat ketakutan yang sisa ku
masih bisa bergurau bersama kakak kali ini aku hanya bisa duduk diam dan
berharap mereka tak menemukan aku dan keluargaku. Ayahku yang sibuk memantu
kondisi di luar dengan memanfaatkan sela-sela kecil di atab rumahku.
Malam ini sangat
menegangkan bagiku, dan seluruh masyarakat desaku. Tiba-tiba ayah memberikan kode kepada kami
semua di seruh diam dan jagan
bergerak. Yah benar sesuai dugaanku suku 88
itu sedang menyusuri dalam rumahku, yaa Tuhan aku benar-benar ketakutan ibu
selalu mendekap aku dan kakaku. Kami benar-benar tak berkutik. Selang beberapa lama di luar sana terdengar suara seperti mereka telah
menemukan mangsa yang siap
mereka santap, mereka yang sedang
mengeledah rumah-rumah warga langsung keluar dan menuju tempat sorak-sorak
suara tersebut. Aku yang penasaran menyusul ayah untuk melihat keadan di luar
sana, dan ternyata mas Tejolah yang mereka tangkap.
“ayah itu mas Tejo yah, kenapa bisa
dia tertangkap yah? Bagaimana ini kasian Alisa yah” sontak aku jadi kebingungan.
“ssssttttt Alena bisa diam kah kau?” kakaku marah
Aku tidak tau jelas apa
yang terjadi di luar sana, mau di apakan mas Tejo aku tidak tau itu. Dari
tempat persembunyianku aku mendengar jeritan seorang perempuan
“aaaaaaaaa jangaaaann……”
Dan suara khas dari suku
tersebut yang mengambarkan kemenangan mereka. Saat itu benar-benar aparat
keamanan sangat kalah dengan jumlah suku 88 tersebut. Setelah kejadian tersebut aparat kepolisian baru berani
mendekat, dan mendapatkan mas Tejo sangat menenaskan,dengan keadaan leher yang
di gorok oleh kampak dan suara mengoroknya. Sungguh kejadian yang sangat
mengerikan sepanjang hidupku kali ini aku hidup selama 15 tahun ini tak pernah
ada kejadian sekejam ini membunuh orang di hadapan anak istri dan
mertuanya. Begitulah tutur dari sodaraku
Alena yang menyaksikan dan mengalami kejadian tersebut. Aku jadi berfikir
apakah hukum adat betul-betul mutlak
umat manusia di muka bumi ini? “Nyawa di
bayar nyawa”
Komentar
Posting Komentar